Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pernikahan dini adalah perkawinan yang dilakukan sebelum laki-laki dan perempuan calon mempelai mencapai usia 19 tahun.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan dini, yaitu yang calon suami/istrinya di bawah 19 tahun, pada dasarnya tidak dibolehkan oleh undang-undang. Selain itu, bila calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun, ia harus mendapatkan izin kedua orang tua agar dapat melangsungkan pernikahan.[1]
Meski pada dasarnya pernikahan dini tidak dibolehkan, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019, pernikahan dini di bawah 19 tahun masih dimungkinkan, yaitu jika terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 16/2019, orang tua pihak pria dan/atau wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung penyebab pernikahan dini yang cukup.
Pemberian dispensasi oleh pengadilan wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.[2] Sebagai informasi, pemberian dispensasi oleh Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama lainnya berdasarkan pada semangat pencegahan perkawinan anak, pertimbangan moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan.[3]
Adapun yang dimaksud dengan “penyimpangan” adalah hanya dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan dispensasi oleh orang tua dari salah satu atau kedua belah pihak dari calon mempelai kepada Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya, apabila pihak pria dan wanita berumur di bawah 19 tahun.
Kemudian, “alasan sangat mendesak” adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan.
Lalu, arti “bukti-bukti pendukung yang cukup” adalah surat keterangan yang membuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-undang dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan.
Selanjutnya, untuk memastikan terlaksananya ketentuan di atas, pemerintah melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat mengenai pencegahan perkawinan usia dini, bahaya seks bebas dan perkawinan tidak tercatat demi terwujudnya generasi bangsa yang lebih unggul.[4]
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, secara hukum pernikahan dini masih dimungkinkan. Namun, pernikahan dini tersebut tidak dapat dilakukan sembarangan dan harus memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Meskipun pernikahan dini masih dimungkinkan secara hukum, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, ada baiknya calon mempelai dan orang tuanya memahami terlebih dahulu bagaimana pandangan psikologi terhadap pernikahan dini.
Dari sisi psikologis, psikolog Nina Anna Surti Ariani berpendapat bahwa menganjurkan atau membiarkan pernikahan dini adalah bentuk kekerasan terhadap anak. Dengan kata lain, orang tua yang mengizinkan anaknya menikah di usia dini, maka dapat dikatakan ia melakukan tindak kekerasan terhadap anak.
Anak yang berumur di bawah 21 tahun sebetulnya masih belum siap untuk menikah. Ketidaksiapan anak menikah dapat dilihat dari 5 aspek tumbuh kembang anak yaitu:
Fisik seorang anak pada usia remaja masih dalam proses berkembang. Kalau berhubungan seksual akan rentan terhadap berbagai penyakit, khususnya untuk perempuan.
Di usia anak dan remaja, wawasan belum terlalu luas, kemampuan problem solving dan decision making juga belum berkembang matang. Apabila ada masalah dalam pernikahan, mereka cenderung kesulitan menyelesaikannya.
Anak dan remaja tidak selalu bisa mengomunikasikan pikirannya dengan jelas. Hal ini dapat menjadi masalah besar dalam pernikahan.
Jika menikah di usia remaja, kehidupan sosial anak akan cenderung terbatas dan kurang mendapatkan support dalam lingkungannya.
Emosi remaja biasanya labil. Kalau mendapatkan masalah akan lebih mudah untuk depresi dan hal ini berisiko terhadap dirinya sebagai remaja, dan anak yang dilahirkan dalam pernikahan. Selain itu, dengan emosi yang labil, dampak pernikahan dini terhadap anak/remaja adalah mereka menjadi lebih sering bertengkar, sehingga pernikahannya tidak bahagia.
Menurut Nina, usia yang dianggap matang untuk menikah adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Hal ini sesuai dengan program Pendewasaan Usia Perkawinan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (“BKKBN”).
Lebih lanjut, Nina menjelaskan ada beberapa cara untuk mencegah pernikahan dini. Pertama, tentunya perlu ada edukasi terhadap anak dan masyarakat luas tentang bahaya pernikahan dini dari segala aspek. Selain itu, penting juga mempertegas payung hukum dari pemerintah mengenai pembatasan usia minimal untuk menikah.
Baca juga: Begini Hukumnya Menikah di Usia Dini
Demikian jawaban dari kami tentang hukum pernikahan dini, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Catatan:
Kami telah melakukan wawancara dengan Psikolog Nina Anna Surti Ariani, via telepon pada 5 September 2018 pukul 15.50 WIB.
[1] Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[2] Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 16/2019”)
[3] Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU 16/2019
[4] Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019