Bagi sebagian besar dari kita, pernikahan adalah permulaan. Namun, bagi ratusan ribu pasangan di Indonesia setiap tahunnya, pernikahan justru berakhir di meja hijau pengadilan agama. Data Badan Pusat Statistik (BPS) selama satu dekade terakhir menunjukkan sebuah tren yang mengkhawatirkan: Meskipun sempat fluktuatif, angka perceraian di Indonesia secara umum tetap berada di level yang tinggi dan memprihatinkan.
Jika dihitung, Kepala BKKBN bahkan sempat menyayangkan bahwa ada sekitar 500 ribu kasus perceraian terjadi di Indonesia setiap tahun (ANTARA News, Juni 2024). Ini bukan hanya cerita sedih pribadi, melainkan fenomena sosial yang mengancam pondasi ketahanan keluarga bangsa. Mengapa begitu banyak janji suci yang terpaksa diakhiri?
Data BPS: Naik Turun yang Tetap Mencemaskan
Untuk melihat tren 10 tahun terakhir, kita perlu melihat data per tahun. Setelah sempat mencapai puncak sekitar 448.126 kasus di tahun 2022, angka perceraian memang menunjukkan sedikit penurunan di tahun 2023 menjadi sekitar 463.654 kasus (berdasarkan data BPS yang dirilis Kemenag). Namun, perlu dicatat bahwa angka ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan satu dekade lalu dan menunjukkan bahwa tingkat keretakan rumah tangga di Indonesia masih tergolong tinggi.
Kutipan Data Kemenag (Mei 2024): “Angka perceraian di Indonesia mengalami penurunan hingga 10,2% di tahun 2023 dengan 463.654 kasus. Tahun sebelumnya, angka perceraian mencapai 516.344 kasus. Jumlah tersebut merujuk dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 28 Februari 2024.”
Penurunan kecil ini, meski patut diapresiasi, belum cukup untuk menghilangkan bayangan bahwa ratusan ribu keluarga baru saja tercerai-berai.
Fenomena tingginya angka perceraian ini memicu dua sudut pandang yang kontras:
Tingginya angka perceraian jelas dipandang sebagai masalah serius. Hal ini merugikan anak-anak, meningkatkan jumlah janda/duda yang rawan terjerumus dalam kemiskinan ekstrem, dan mengganggu kestabilan emosional masyarakat.
Kekhawatiran BKKBN: Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, menyampaikan keprihatinannya: “Hari ini kasus perceraian dalam setahun tidak kurang dari 500 ribu pasangan. Dalam rangka Hari Keluarga Nasional, ini kesedihan mendalam. Angka perceraian tinggi mengancam ketahanan keluarga.” (ANTARA News, Juni 2024).
Sebagian pihak, termasuk yang diungkapkan oleh Dirjen Bimas Islam (Agustus 2011), berpendapat bahwa tingginya angka perceraian tidak selalu harus diartikan negatif. Hal ini bisa mengindikasikan semakin terbukanya sebuah masyarakat, semakin aktif dan semakin merdekanya setiap individu untuk keluar dari pernikahan yang tidak sehat (misalnya, akibat KDRT atau perselingkuhan yang merusak mental).
Riset dari Pengadilan Agama dan BPS konsisten menunjukkan dua faktor dominan sebagai pemicu perceraian, yang seringkali saling berkaitan:
Ini adalah faktor nomor satu yang mendominasi data perceraian. Perselisihan yang berkepanjangan (atau cekcok yang tak berkesudahan) menjadi penyebab utama di lebih dari 60% kasus. Pada tahun 2024, dilaporkan ada sekitar 251.125 kasus yang disebabkan oleh faktor ini (Tirto.id, Februari 2025).
Mengapa Ini Terjadi? Konflik yang tak terselesaikan biasanya berakar dari kurangnya komunikasi sehat, perbedaan nilai dan tujuan hidup, serta kelelahan emosional. Pasangan tidak mampu mengelola konflik kecil hingga memicu ketidakharmonisan yang fatal.
Faktor finansial menduduki posisi kedua terbesar. Pada tahun 2024, tercatat lebih dari 100.198 kasus perceraian disebabkan oleh masalah ekonomi (Tirto.id, Februari 2025).
Mengapa Ini Terjadi? Tekanan ekonomi, ketidakmampuan mencari nafkah, dan utang (termasuk judi online yang kini mulai muncul dalam daftar penyebab) seringkali menjadi sumber konflik yang sulit diatasi. Beban keuangan yang tidak seimbang atau ketidakjujuran dalam mengelola uang keluarga mengikis kepercayaan dan memicu pertengkaran.
Angka perceraian yang tinggi adalah peringatan keras bahwa pernikahan di Indonesia sedang menghadapi tantangan besar. Institusi keluarga harus dibentengi bukan hanya dengan modal cinta, tetapi dengan komitmen finansial yang realistis dan keterampilan komunikasi konflik yang mumpuni. Pasangan muda perlu disiapkan mental dan finansial sebelum melangkah ke pelaminan, tidak hanya sebatas seremonial pesta.
Pernikahan yang kuat dimulai dari perencanaan yang matang dan efisien. Jangan biarkan kerumitan logistik acara menguras energi yang seharusnya dialokasikan untuk membangun hubungan.
Kipa Invitation hadir sebagai solusi modern untuk pasangan yang ingin fokus pada esensi pernikahan
Undangan Website yang Simpel: Menyediakan detail acara yang komprehensif, story perjalanan cinta, dan fitur RSVP lengkap, meminimalkan kesalahpahaman informasi.
Bukutamu Digital Anti-Ribet: Jaminan check-in cepat menggunakan QR Code dan pencatatan kehadiran yang akurat data masuk secara realtime
Kami urus undangannya, Anda fokus pada cintanya.
Kipa Invitation: Undangan Website & Bukutamu Digital


