Zaman di mana perasaan dikirim lewat emoji, dan pertengkaran bisa terjadi hanya karena pesan “dibaca tapi tidak dibalas.”
Menikah di era digital bukan sekadar menyatukan dua hati, tapi juga dua dunia yang sama-sama terhubung — dan terpapar oleh algoritma.
Di dunia yang serba cepat ini, cinta sering kali terasa instan.
Kita bisa mengenal seseorang hanya lewat profile bio, merasa cocok karena selera musik yang sama, lalu menyimpulkan bahwa dia mungkin “jodoh yang dikirim semesta.”
Tapi cinta yang datang secepat scroll, bisa juga pergi secepat swipe left.
Ketika Algoritma Mulai Mengatur Hati
Media sosial kini jadi “panggung cinta.”
Kita terbiasa menilai hubungan dari story yang diunggah, dari pasangan yang selalu terlihat harmonis, dari caption manis yang viral di explore.
Namun jarang yang tahu, di balik foto pasangan bahagia, ada dua manusia nyata yang juga punya luka, lelah, dan perbedaan yang tak tertulis di kolom komentar.
Algoritma mengatur apa yang kita lihat — termasuk tentang cinta.
Kalau kamu sering menonton konten “relationship goals”, algoritma akan menambahkannya di beranda.
Perlahan, tanpa sadar, kita mulai membandingkan.
Mulai merasa bahwa hubungan kita kurang romantis, pasangan kita kurang perhatian, dan cinta kita… mungkin kurang estetik untuk diunggah.
Padahal, cinta bukan konten.
Ia bukan tentang siapa yang paling sering upload foto berdua, tapi siapa yang tetap bertahan ketika semua orang sibuk memamerkan bahagianya masing-masing.
Menikah di Zaman Serba Terhubung
Pernikahan di era digital menghadirkan tantangan baru.
Bukan lagi hanya tentang ekonomi dan komunikasi, tapi juga tentang privasi dan validasi.
Kapan kita perlu berbagi cerita, dan kapan harus menyimpannya sendiri?
Apakah kebahagiaan harus selalu dibuktikan lewat like dan comment?
Kadang, pasangan lupa menikmati kebersamaan karena terlalu sibuk mendokumentasikannya.
Mereka saling mencintai, tapi juga saling menuntut untuk tampil sempurna di depan kamera.
Sementara cinta sejati justru tumbuh di balik layar — saat dua orang belajar saling memaafkan, menurunkan ego, dan memilih tetap bertahan meski dunia luar sibuk menilai.
Cinta Tak Butuh Sinyal, Tapi Butuh Sinyal Hati
Menikah di era digital memang penuh warna.
Kita punya cara baru untuk berkomunikasi, mengekspresikan cinta, dan mendukung satu sama lain.
Namun di balik semua kemudahan itu, kita juga ditantang untuk tetap manusiawi — untuk tetap hadir secara nyata, bukan hanya daring.
Cinta yang bertahan bukan yang paling viral, tapi yang paling sadar.
Yang tahu kapan harus online, kapan harus offline, dan kapan harus benar-benar “hadir” untuk pasangannya.
Pada akhirnya, cinta sejati tidak bisa diukur oleh algoritma mana pun.
Ia tidak bisa dihitung oleh jumlah view, comment, atau engagement rate.
Karena cinta sejati selalu hidup di tempat yang algoritma tak bisa jangkau:
di hati dua orang yang memilih satu sama lain, setiap hari, bahkan ketika sinyal sedang hilang.